Bule: Masalah Bagi Orang Kulit Putih

Kami di Eropa dan Anglosfer mempermasalahkan “rasisme”. Semua orang terus-menerus membicarakan ‘R’ (lelucon untuk merujuk pada rasisme) dan tiada hari bagi media siar untuk tidak membicarakan hal ini, sehingga membuat masyarakat kembali mengingat-bahkan terus mengingat kejahatan yang menghuni relung bawah sadar termasuk rasisme.

Featured image
Boulevard Ijen in Malang City, Indonesia.

Tidak mudah untuk mengingat daftar kata-kata yang dilarang untuk diucapkan, yang mana terus berkembang, dari kata-kata yang dulunya tidak berbahaya kini menjadi tabu dalam sekejap malam. Tidak mengherankan jika sikap terlalu sensitif membuat kami frustasi sendiri dengan kelakuan orang Indonesia yang seolah lupa bahwa sejatinya kami memiliki aturan dasar yang disebut kebenaran politik.

Kalau kamu adalah seorang Kaukasia berkulit putih dan kebetulan mendapati dirimu pada suatu keadaan, di mana, diasingkan oleh sesamamu manusia dengan kulit mereka yang cenderung lebih gelap, dan memanggilmu dengan ‘B’:

“Bule!”

Selamat: kamu resmi menjadi korban rasisme! Iya kah?

Apakah “bule” adalah kata-kata rasis?

Jawaban sederhananya adalah tidak. Kalau kamu adalah keturunan Eropa, dipanggil bule adalah suatu bagian dari pengalaman umum dan menyehatkan ketika berjalan di tanah seribu raja.

Sebagai seorang keturunan Jepang, aku sudah mengalami suatu pengalaman menakutkan yang serupa. Di Jepang, kami memiliki istilah untuk orang asing: “gaijin” 外人, yang secara harfiah bermakna orang luar. Kalau kamu seorang gaijin, kamu akan diperlakukan berbeda.

Istilah “bule” sama halnya seperti “gaijin”, tidak terbatas pada ras seperti: Afrika, Asia Timur, Arab, India, dll tapi siapapun juga bisa merasakan sakitnya dipanggil dengan istilah itu! Kadang-kadang, orang Indonesia akan mengatakan “Aku ketemu bule Jepang”, yang dengan jujur menunjukkan bahwa orang Indonesia tidak membeda-bedakan orang berdasarkan penampilan mereka, tidak, karena jika kamu tidak terlihat seperti orang Indonesia, ya berarti kalian bule!

Infographic: the Japanese word 'gaijin' 外人 and the Indonesian word 'bule' share a similar meaning.

Infographic: the Japanese word ‘gaijin’ 外人 and the Indonesian word ‘bule’ share a similar meaning.

Jadi intinya: sebagian besar “bule” berarti “orang asing”, mirip dengan kata “gaijin” 外人 dalam bahasa Jepang. Kata ini merujuk pada seseorang yang dianggap tidak memiliki gen yang sama.

Lalu apa sih arti sebenarnya dari kata ini? Definisi “bule” yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu kamus resmi bahasa Indonesia yang memiliki otoritas:

bule : a bulai. bulai : n putih seluruh tubuh dan rambut.

“Bule” berarti “albino”, atau orang kulit putih, dan terkadang digunakan untuk menunjuk orang non-kulit putih.

Kamus Besar Bahasa Indonesia: definition of 'bule'/'bulai'.

Kamus Besar Bahasa Indonesia: definition of ‘bule’/‘bulai’.

(Dela) Aku pernah melihat orang-orang meratap karena merasa menjadi korban rasisme karena dipanggil “bule”, tapi bagi orang Indonesia seperti aku semua ratap dan cacian itu sangat membingungkan. “Bule” hanyalah kata yang kami gunakan untuk merujuk pada orang asing.

(Alex) Cukup adil: kalau kamu terlihat beda, ya kamu akan dicap sebagai orang yang beda, dan tidak ada salahnya. Ini merupakan kecenderungan alami yang dimiliki orang untuk mendefinisikan, melalui kata-kata, tentang lingkungan di sekelilingnya. Ini adalah konsekuensi hidup di dunia yang mengandalkan bahasa yang kompleks untuk berkomunikasi.

Sedikit cerita.

(Dela) Menurut yang dikatakan kakek, istilah “bule” muncul di era kolonial. Kakek buyut Belanda aku tinggal berdampingan dengan orang Belanda lainnya, di kawasan mewah yang disebut boulevard, sedangkan penduduk asli Indonesia tinggal di kawasan sekitarnya, yang “lebih buruk”. “Bule”, kurang lebih adalah singkatan dari “boule-vard”.

Boulevard dikenal sebagai tempat para elit bermukim, dengan segala kemegahan dan kekuasaannya. Ini bisa menjadi upaya, bagi pemerintah kolonial Belanda, untuk secara aktif mendiskriminasi penduduk setempat dan mempertahankan gengsi para penjajah. Atau bisa jadi perwujudan dari kecenderungan alami pada diri manusia, yakni mempertahankan apa yang mereka punya, baik dari segi ras dan budaya.

(Dela) Di Malang, tempat aku tinggal, memiliki satu boulevard seperti yang dimaksudkan di atas, namanya Ijen Boulevard, di mana kalian masih dapat melihat nama-nama Eropa tertera di bagian depan bangunan besar bekas kolonial.

Bangunan dan fasilitas yang megah di Ijen Boulevard saat itu masih bertahan hingga sekarang: trotoar yang rapi, bioskop, taman, gereja-gereja megah, stadion, sekolah dan stasiun, semua terasa sangat kontras dengan fasilitas orang pribumi, yang jauh lebih sederhana, dan beragam hiburannya dalam bentuk kegiatan lokal, terutama tarian dan pertunjukan tradisional (yang masih aktif hingga sekarang).

Stadion Gajayana in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Stadion Gajayana in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Fountain in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Fountain in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Road in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Road in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Christian cathedral in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Christian cathedral in Boulevard Ijen, Malang, Indonesia.

Ini mengarahkan kita ke topik berikut, yaitu: bagaimana istilah “bule” bisa membuat orang Indonesia merasa tidak percaya diri.

Mungkin sebagai hasil penjajahan lebih dari 350 tahun lamanya oleh bangsa Belanda, beberapa orang Indonesia menanamkan inferioritas yang kompleks terhadap orang asing, yang pada umumnya mereka dianggap sebagai sosok superior. Mereka slalu ingin berfoto dengan “bule”.

Di cap sebagai “bule” akan memberi kamu hak istimewa tertentu. Misalnya, perusahaan milik kamu akan lebih dicari dan dihargai lebih daripada yang seharusnya! Kalau kamu adalah tipe orang narsis, mungkin kamu akan menikmati hal ini bahkan kecanduan dengan cara publik memperhatikanmu.

(Dela) Menurut aku pribadi, aku nggak terlalu suka dengan sikap orang Indonesia, yang mana terlalu berlebihan dalam menghormati seseorang hanya karena dia adalah bule. Pada saat yang sama, aku rasa itu hal konyol bagi orang asing yang tersinggung dengan penggunaan kata ini, dan bahkan bukan suatu masalah besar. Aku pikir kebajikan selalu berada di titik tengah, seperti yang pernah dikatakan pepatah Latin!

(Alex) Kalian mungkin berpendapat bahwa ini semua adalah rasis, dan aku setuju: “bule” adalah istilah yang mengasingkan demografis tertentu, dan karenanya terkesan rasis secara teknis. Tapi kita bukanlah teknisi, kita manusia, kan? Ini bukan suatu rasisme yang buruk, yang sarat dengan kedengkian dan xenophobia atau ketakutan terhadap orang dari negara lain. Samasekali enggak. Kita berbicara tentang sesuatu yang lugu dan bertujuan baik, yang berasal dari keramahan dan rasa simpati, yang pada dasarnya tidak bermaksud buruk.

Kesimpulannya…

…kalau kalian benci dengan kata “bule”, udah deh lupain aja.

Dan kalau kalian menyukainya, udah deh jangan ge-er!

Dela & Alex